Cari Blog Ini

17 Oktober 2018

Dia MilikNya


Christian memandang sebuah undangan reuni SMA yang baru saja diterimanya. Ia sedang bersiap berangkat kerja ketika seorang kurir mengetuk pintu rumahnya. 

Christian terpekur lama hanya memandang undangan itu tanpa berniat membukanya. Sebuah rasa rindu menelusup ke dalam hatinya. Namun dibandingkan rasa rindu akan masa SMA nya, ada rasa sakit yang sampai sekarang masih meninggalkan lubang di hatinya.

Perlahan tangannya membuka undangan itu.

"Reuni SMA St. Christopher angkatan 50" tertulis dengan tinta emas dengan gaya tulisan gothic.

Tiba-tiba ingatannya Christian kembali ke 10 tahun silam, saat masa-masa SMA nya. Dia sesekali tersenyum kala mengingat moment lucu  dan bahagia yang ia lewati bersama teman-temannya. Ingatannya juga kembali pada Cinta pertamanya. Cinta pertama yang sangat menyenangkan sampai tiba suatu waktu masa bahagia mereka tergantikan dengan luka yang masih abadi sampai sekarang.

Dulu, ada seorang gadis lugu yang mampu membuat seorang Christian merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Gadis pindahan yang menempati kelas di samping kelasnya itu membuat seorang Christian jatuh Cinta untuk pertama kalinya. Gadis yang mampu membuat ia terbang ke langit ke tujuh dan melupakan impiannya. Christian rela melepaskan mimpinya dan mimpi orang tuanya hanya untuk Cinta pertamanya.

Namun, setelah empat tahun menjalin hubungan, gadis itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak, meninggalkan lubang besar di hatinya. Bertahun-tahun  Christian mencoba mencari tahu kabarnya, tapi sepertinya Tuhan tak mengizinkannya mengetahui tentang cinta pertamanya.

Namun setelah penantian panjangnya, surat undangan Reuni ini seolah menjadi jawaban atas pencariannya selama ini. Ia yakin ia bisa menemukan dia. Banyak hal yang ingin ia tanyakan.

Christian membuka kalender di HP nya dan  langsung menandainya. Seminggu lagi, ia berharap bisa bertemu kembali dengan cinta pertamanya, setelah 10 tahun menghilang tanpa kabar.


Christian memarkirkan mobilnya di basement Hotel, namun ia tak langsung turun. Ia termenung sesaat dan hampir memutuskan untuk pulang ketika mengingt apa yang akan dihadapinya di dalam sana. Kejadian masa lalu membuat ia tak punya muka untuk bertemu teman-teman seangkatannya. Christian tau teman-temannya sudah meraih mimpinya, sedangkan dia yang sudah membuang impiannya demi Cinta pertamanya malah berakhir menyedihkan. 

Lama ia berdiam diri dalam mobil, sambil menimbang masuk atau tidak ke tempat acara. Sebenarnya Ia hanya bingung.  Ia tidak punya alasan dan penjelasan seandainya mereka bertanya padanya. Namun ketika mengingat ini adalah kesempatannya bertemu dengan dia, Christian akhirnya memantapkan dirinya untuk masuk.

Acara Reuni SMA St. Christopher berlangsung di salah satu Hotel di Jakarta. Dari yang Christian dengar, yang menggagas acara ini adalah ketua OSIS angkatan 50.  Sebelum masuk ke ballroom hotel, Christian menarik napas, merilekskan dirinya, ia harus kuat. Karena di dalam sana ia akan diingatkan tentang masa lalunya.

"Kau harus tenang, kau bisa melewati ini" ucapnya pada diri sendiri, menguatkan diri sendiri. Setelah menepuk pundaknya sendiri, Christian melangkah masuk.

Ballroom dipenuhi orang-orang. Banyak yang tak dikenal Christian, entah karena memang dia tidak tau, atau karena perubahan yang terjadi setelah beberapa tahun. Pandangannya menyapu sekelilingnya, berharap ada teman yang dikenalnya.

"Tian?" seseorang menepuk pelan pundaknya. "Kamu Tian kan??"

Dihadapannya berdiri seorang wanita cantik berpenampilan feminim. Lama Christian terdiam, mencoba menemukan ingatannya tentang sosok dihadapannya dan seketika ia membelalak tak percaya. "Acha??  Kamu Acha?"

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Ia langsung memeluk Christian melepaskan rindu. Christian membalas pelukan Acha.

"Gila.. Kamu keren banget. Kamu berubah banget. Aku hampir nggak ngenalin kamu loh" Christian masih tak percaya dengan sosok di depannya itu. 

Dulu Acha adalah ketua kelasnya. Acha dulu adalah seorang gadis tomboi dengan penampilan laki banget. Tapi sekarang dia berubah menjadi seorang wanita yang feminin. Waktu Benar-benar luar biasa. Waktu bisa mengubah segalanya.

"Kamu juga. Makin keren" puji Acha.

Mereka kemudian berbaur dengan teman-teman sekelas mereka. Banyak cerita dan kenangan yang mereka obrolkan antara mereka. Intinya adalah semua teman-temannya mengalami hal-hal luar biasa yang mampu mengubah kehidupan mereka.

"Abdi, kamu Udah tabhisan imamat?"

"Doakan tahun depan aku tabhisan imamat. Si Thomas malah udah mengabdikan dirinya di Afrika." Abdi kemudian menceritakan tentang kehidupan mereka, tentang proses yang mereka lewati untuk menjadi seorang Imam.

Christian menyimak apa yang teman-temannya bicarakan. Ah dia merindukan masa-masa itu. Dulu ia adalah seorang seminaris. Ia tinggal di seminari, namun bersekolah di sekolah umum. 3 tahun ia menjadi seorang seminaris, jadi sedikit banyak ia tahu tentang kehidupan seorang seminaris. Sekarang semua itu hanya tinggal kenangan. Ia tidak mungkin kembali lagi.

"Kamu gimana Tian?  Udah nemuin passion mu?" pertanyaan Abdi membuyarkan lamunannya. Christian mengedikkan bahunya.

"Yah gitu deh" jawabnya sambil tersenyum. Dalam hatinya ia berdoa semoga mereka tak tanyakan tentangnya. Namun tampaknya doanya tidak terkabul.

"Kamu gimana sama Eve?" pertanyaan dari Acha membuat ia terdiam lama.

"Udah enggak lagi." jawabnya singkat. "Dia menghilang," tambahnya lagi membuat semua yang ada di sekelilingnya diam.

"Udah enam tahun dia menghilang tanpa kabar. Aku nggak tau dimana dia." Christian akhirnya memberanikan dirinya menceritakan tentang Eve.

"Aku dateng ke reuni ini berharap bisa bertemu dengannya. Banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Tapi kayaknya dia nggak datang."

Teman-temannya melemparkan tatapan prihatin padanya. Tian dan Eve adalah pasangan sekolah yang cukup terkenal, banyak yang tau tentang kisah mereka. Mereka sangat menyayangkan kisah Tian dan Eve yang berakhir menyedihkan.

"Yaudah Tian, kamu masuk lagi ke seminari. Jadi Imam aja lagi," canda Abdi memecah keheningan itu.

"Nah iya. Bener. Jadi seminaris lagi aja. Kamu Belum 30 tahun kan? Masih bisa itu," sambung Acha mendukung Abdi.

"Iya Tian, siapa tau kali ini jadi Imam beneran"

Christian langsung menggeleng. "Passion ku bukan disitu. Kurasa aku akan menjadi awam saja."

Mereka kemudian mengalihkan pembicaraan. Mereka membahas kenangan-kenangan semasa sekolah dulu. Sedang asik-asik membahas kenangan, tiba-tiba Nardo si ketua OSIS menghampiri mereka.

"Maaf, siapa ya yang namanya Tian?"

"Saya sendiri. Ada apa??" Christian berdiri  menghadap Nardo.

"Ada undangan buat kamu. Dari Eve."

Mendengar nama Eve disebut, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba untuk santai, namun reaksi tubuhnya tak bisa menipu. Ia gemetaran.  Nardo menyodorkan sebuah undangan padanya. Dengan gemetar Christian menerima undangan itu.

Ketika melihat sampul undangan itu, tangannya mengepal keras, rahangnya ikut mengeras. Namun tanpa ia sadari sebulir air mata mengalir turun.

Kejutan untuk seorang Christian.


Christian menyaksikan perarakan itu dengan perasaan campur aduk. Ada rindu, marah, iri, bahagia berpadu satu, bergolak di dalam dada. Setelah menerima undangan Eve, Tian memutuskan untuk hadir dalam acara ini, untuk memberi dukungan. Hati kecilnya marah pada keputusan Eve, namun sebagian lainnya bersyukur akan hal itu. Sampai pada saat ia memandang arak-arakan itu, Tian sadar suatu hal: ia benar-benar telah kehilangan Eve.

"Eve cantik banget.." puji Acha yang kebetulan hadir juga di acara ini. Tian mengangguk. Eve memang terlihat cantik disana.

Diantara arak-arakan itu, Tian menemukan dia, Cinta Pertamanya, Eve berjalan menuju altar dengan pakaian pengantinnya dan wajah yang berseri. Baru kali ini, Tian melihat bagaimana bahagianya seorang Eve. Selama mengenal Eve, Tian tak pernah melihat raut yang seperti itu. Eve benar-benar bahagia.

Tian menyaksikan seluruh rangkaian prosesi itu dalam diam. Ketika Eve mengucapkan ikrar itu, Tian sadar bahwa Eve-nya telah berubah menjadi seorang yang baru. Tidak akan ada lagi cerita Tian dan Eve.

"Kamu harus merelakannya." ujar Acha pelan ketika dilihatnya Tian terpaku menatap ke arah altar.

"Aku mengikhlaskannya sejak pertama kali kulihat ia dalam gaun pengantinnya. Aku ikhlas." ucap Tian mantap.

Yah dia sudah merelakannya.


"Suster Teresa?" sapa Tian pada seorang suster muda yang sedang berdiri di pintu masuk aula.

"Ha... Hai Tian.." balas Suster itu canggung. Senyum di wajahnya memudar digantikan dengan ekspresi canggung.

"Selamat ya, karena sudah sah menjadi seorang suster." Tian mengulurkan tangannya dan disambut canggung oleh Suster Teresa.

"Terima kasih Tian." balasnya canggung.

"Aku bingung harus memanggilmu apa. Aku tidak bisa memanggilmu dengan nama Eve lagi. Kamu sekarang adalah suster Teresa. Bagaimana kabarmu Suster Teresa?"

Yah kalian benar. Eve-nya Tian kini menjadi seorang biarawati. Eve-nya kini telah berganti nama menjadi Maria Teresa. Dan sekarang Tian harus memanggilnya dengan embel-embel suster. Sesuatu diluar dugaan dan bayangan Tian. Undangan yang di terimanya adalah undangan Kledingan (Acara penerimaan jubah bagi seorang biarawati). Tuhan memang luar biasa. Membuatnya bertemu dengan cinta pertamanya disaat Cinta pertamanya menjadi pengantinNya.

"Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja. Kuharap kamu juga baik-baik saja." balas suster Teresa. Keduanya kemudian terdiam cukup lama, sibuk mengolah kalimat yang akan disampaikan.

"Aku tahu, banyak yang ingin kamu tanyakan padaku. Tapi sebelumnya aku minta maaf padamu. Minta maaf atas segalanya. Khususnya Untuk Meninggalkan dan menyakitimu." Suster Teresa mulai berbicara. Ia tahu Tian menuntut penjelasan darinya. Dan sudah menjadi kewajibannya untuk menjelaskan semua itu.

"Kamu tau aku sempat kuliah. Aku menyelesaikan kuliahku dan sempat bekerja. Tapi aku merasa ada yang hilang dan kurang lengkap dihidupku. Beberapa tahun kuhabiskan untuk mencari apa tujuanku. Sudah berapa banyak biara yang coba kumasuki untuk menemukan ketenangan, namun dari semua biara itu, aku menemukan diriku sendiri di biara ini."

"Aku minta maaf padamu, kamu meninggalkan impianmu menjadi seorang Imam, keluar dari seminari hanya untukku, tapi aku membalasnya dengan begini. Saat itu aku tak memikirkan tentangmu dan impianmu. Tapi sekarang aku sadar, bagaimana bahagianya hidup sebagai seorang biarawan. Banyak pergulatan yang sudah kualami, setelah akhirnya aku tahu bahwa hidup membiara ada hidupku. Ku harap kamu bisa memaklumi dan memaafkanku" Suster Teresa mengakhiri penjelasannya dengan nada rendah. Ia benar-benar merasa bersalah pada pria di hadapannya ini.

"Aku memaklumimu Suster. Dan masalah aku keluar dari seminari,  itu bukan salahmu. Memang kamu adalah salah satu alasannya, tapi semua itu adalah keputusanku. Jadi jangan merasa bersalah padaku. Aku minta maaf karena tidak mengetahui pergulatanmu."

"Tadi ketika melihatmu dalam gaun pengantin, aku menyadari bahwa kamu sangat pantas menjadi mempelaiNya. Suster sangat cocok menggunakan kerudung itu."

"Terima kasih Tian. Sekali lagi maaf."

"Aku turut bahagia untukmu. Aku senang kamu bisa menemukan tujuan hidupmu Suster. Sekarang lupakan semua itu. Sekarang kamu adalah Suster Teresa, bukan Eve lagi. Kamu punya kehidupan baru sekarang. Banyak hal yang menantimu di depan sana. Perjalananmu masih panjang. Aku akan mendoakan semoga suster Setia dalam panggilan, melayani dengan tulus hati dan selalu di berkati Tuhan." Ucap Tian tulus.

Suster Teresa tersenyum lega. Bebannya selama ini terangkat sudah. "Terima kasih Tian. Aku akan mendoakanmu juga."

"Selamat melayani Suster." Christian menyalami Suster Teresa dan berpamitan.

Baginya sudah cukup segalanya. Penjelasan Suster Teresa membuat hatinya lebih lapang. Pertanyaan yang selama ini menghantuinya terjawab sudah. Cukup baginya untuk berada di tempat itu.

Christian berjalan keluar menuju parkiran. Langkahnya terhenti di depan patung Yesus memberkati. Sambil memandang wajahNya, Tian berujar lirih, "Tuhan, Kau memang tau siapa yang terbaik bagiMu. Kau memilih orang yang tepat."

Tian memandang ke arah dalam, ketempat Suster Teresa berdiri. Ia menghela napas lega sambil diiring sebuah senyuman.

Sekali lagi ia menatap patung dang berkata, "Dia milikMu. Aku tidak akan menentangMu. Aku tak akan mencuri mempelaiMu. Tolong jaga dia selalu Tuhan."

Tian menunduk sebentar untuk berdoa sebelum akhirnya beranjak dari situ. Hatinya lega dengan semua itu. Ia merasa ia telah melakukan hal yang baik. Tian sudah merelakan Eve-nya untuk menjadi milik Tuhan.

Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih.
Dan Eve- nya menjadi salah satu pilihan Tuhan.

"Aku rela Tuhan. Dia milikMu."


Jakarta, 17 Oktober 2018

16 Agustus 2018

Karena Dia







Misa Minggu sore adalah waktu misa favoritku. Sebenarnya semua waktu misa baik, hanya bagiku misa minggu sore adalah yang terbaik. Bangku belakang dekat patung Bunda Maria adalah tempat duduk favorit kami: aku dan Olin sahabatku. Bukan tanpa alasan kami memilih menempati bagian itu dari banyaknya bagian tempat duduk dalam Gereja. Kalian tau kan? Semua hal pasti ada alasannya.

Seperti kebanyakan cewe pada umumnya, sayap kiri gereja adalah pilihan terbaik jika ingin melihat cowo-cowo muda yang tampan dan kinclong, penampilan dengan gaya anak muda zaman now dengan rambut rapi dilumuri minyak rambut dan wangi dari parfum terbaik. Ini adalah spot terbaik jika ingin mencari jodoh. Kurang lebih seperti itulah alasan kami memilih duduk disitu.

Setiap minggu di waktu yang sama aku dan Olin ke gereja dan duduk di tempat yang sama. Tapi sejak minggu lalu, aku memutuskan untuk berubah haluan.

"Ayo buruan, nanti tempat duduk kita ditempati orang," bisik Olin sambil menyeretku pelan ke arah tempat duduk favorit kami. Kondisi gereja yang sudah ramai membuat kami menjadi perhatian banyak orang, dan aku tidak menyukai itu.

Aku menahan lengan Olin sembari berbisik, "Aku mau duduk di belakang koor". Aku mendahului Olin dan berjalan menuju bangku paling belakang di bagian koor yang masih kosong.

"Kamu kenapa sih? Tumben banget duduk disini?" tanya Olin begitu kami duduk berdampingan. Wajahnya keheranan, penuh tanda tanya. Aku memaklumi reaksinya. Jelas saja ia keheranan, karena dia tahu aku paling tidak suka duduk di belakang koor.

Aku tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Olin. Biarkan dia bertanya-tanya dan menerka-nerka.

Pandanganku tertuju pada seorang cowo yang sedang menyetel piano, menyamakan dengan suara si pemazmur. Senyum terkembang begitu saja saat kuingat kembali pertemuan kami minggu lalu.

Saat itu aku membantunya membawa tatakan keyboard karena kulihat ia kesusahan menggotongnya naik tangga. Aku jarang melihat dia, namun dari yang kudengar, ia adalah salah satu organis gereja. Hampir setiap minggu dia menjadi organis, dan hal itu membuatku semakin bersemangat untuk ke gereja.

Dan dia adalah alasanku duduk disini sore ini, dan mungkin untuk seterusnya.

Kurasa aku sudah jatuh Cinta padanya.

Hanya memandang belakang kepalanya saja mampu membuatku berdebar. Mataku terus terpaku padanya, menikmati setiap gerak tangannya di atas tuts piano dan gerak tubuhnya yang bergerak mengikuti irama. Sungguh sebuah pemandangan yang enak dilihat. Aku rasa aku bisa langsung mengenalnya walau hanya melihat dari belakang punggungnya saja.

"Datang ke Gereja itu harus sopan. Kalian mau bertemu Tuhan, bukan main ke Mall. Cobalah untuk memperhatikan pakaian yang kalian kenakan." Indera pendengaranku menangkap khotbah Romo Leo. Aku tidak tahu bagaimana Romo Leo mengawali khotbahnya, karena fokusku bukan pada Romo, tapi pada sang organis.

"Ke gereja karena mau bertemu Tuhan dan  merayakan ekaristi. Bukan karena mau bertemu gebetan, teman atau pacar."

Aku tersentak dan spontan menoleh menatap Romo Leo. Arah pandang Romo tertuju padaku. Beliau tersenyum seakan bisa membaca pikiranku. Seketika aku langsung menunduk, merasa malu. Aku tersindir oleh khotbah Romo Leo. Hari ini aku ke Gereja karena ingin melihat dia.

"Tuhan maafkan aku. Motivasiku salah. Tapi Tuhan, tidak bisakah aku bertemu denganMu sekaligus dengannya?" tanyaku dalam hati.

Saat aku mengangkat wajahku, sang Organis sedang menoleh ke arahku. Tatapan kami bertemu, dan sepertinya aku mendengar Tuhan berkata, "Tidak apa anakKu, Aku bersyukur kamu masih datang ke rumahKu."

Aku tersenyum untuk Tuhan dan untuknya, "Terima Kasih Tuhan."


Jakarta, 17 Agustus 2018

17 Juni 2018

Untukmu





Untukmu...
 
Ku akui, aku pernah menyukaimu dengan sangat.

Tapi itu dulu, beberapa tahun yang lalu.

Saat itu aku hanya seorang remaja yang hanya sedang jatuh Cinta padamu.

Remaja yang menghabiskan 5 tahun waktunya untuk menyukaimu.

Tapi aku tidak pernah menyesal karena pernah menyukaimu.

Aku bersyukur pernah menyukaimu. 

Untukmu... 
Kuakui, aku menikmati saat-saat dimana aku menyukaimu dalam diamku. 
Dulu,
Aku berpikir mungkin aku akan terus begitu sampai aku menemukan seorang yang bisa menggantikan posisimu di hatiku. 
Pernah suatu ketika, mereka menanyakan alasan aku menyukai mu,
Dan kau tau?
aku tidak mempunyai jawaban.

Karena aku tau, menyukai seseorang tidak perlu alasan.

Bukankah begitu??

Bukankah kau hanya perlu bersyukur karena banyak yang menyukaimu? 
Tidak perlu bertindak seperti orang asing hanya karena kau tau aku menyukaimu. 
Kita pernah saling mengenal, dan itu adalah hal yang tidak bisa kau pungkiri.  
 
Untukmu... 
Bertahun-tahun aku berusaha menata hatiku lagi. 
Entah masih menyukaimu atau tidak, 
itu adalah masalahku. 
Sekarang, setelah bertahun-tahun, 
Aku sudah bisa menghadapi hatiku. 
Jadi jangan menjauh.

Kita bukan lagi seorang remaja. 
Kita sudah cukup dewasa untuk menghadapi perasaan kita. 
Jangan bersikap seperti remaja belasan tahun yang tidak bisa mengontrol perasaannya. 

Satu pintaku untukmu,

Kelak, saat kita bertemu lagi,

Ku harap kita bukanlah orang asing.



Jakarta, 18 Juni 2018

7 Juni 2018

Bukan Salahmu



Bukan salahmu aku jatuh Cinta padamu.
Aku yang banyak salah.

Mataku terlalu berbinar saat memandangmu.
Sulit bagiku untuk mengalihkan tatapanku darimu.

Telingaku terlalu tajam untuk menangkap merdu suaramu.
Ia tak selektif dalam menyaring suara yang di dengarnya.

Mulutku juga terlalu cerewet. Ia selalu menyebut namamu di setiap kesempatan.

Ingatanku terlalu kuat, hingga Pikiranku dipenuhi tentangmu.

Dan akhirnya hatikulah yang paling lemah.
Ia tidak mampu menolak pesonamu.
Hatikulah yang lemah.

Bukan salahmu saat aku jatuh Cinta padamu.

Kesalahan mu hanyalah satu:

Kau...
Kau terlalu bagiku....

Jakarta, 6 Juni 2018

30 Mei 2018

Patah Lagi

Dia yang baru saja bangkit, kembali terjatuh lagi..
Dan Hati yang telah patah itu kembali patah lagi..

Kau hanya sebuah titik di dunia ini.
Tapi pengaruhmu sebesar dunia miliknya.

Kau tahu? Seharusnya kau tak kembali..

13 Mei 2018

Apakah Salahku (?)

Apakah itu salahku,
Jika suatu malam dihidupku,
aku masih bermimpi tentangmu?

Apakah itu salahku,
Jika aku tidak berhasil melupakanmu walau sudah kucoba sekuat tenaga?

Bagaimana kalau ternyata itu Cinta??

Akankah itu jadi salahku juga?


Jakarta, 2 Desember 2017
~Pada pagi hari saat aku terbangun karena bermimpi tentangmu~ 

8 Mei 2018

Istana dan Badai

Aku berhasil menata kembali istanaku yang sempat kau rusak
Kurenovasi, kurawat dan kupasang tembok kokoh disekeliling nya

Tapi,
seperti badai,
tiba-tiba kau datang dan menghancurkan istanaku

Seperti badai, kau berlalu begitu saja
Setelah kau porak-porandakan istanaku

Kau berhasil.

Istanaku hancur lagi.

Dan aku harus membangun kembali


Jakarta, 10 Januari 2018