Misa Minggu sore adalah waktu misa favoritku. Sebenarnya semua waktu misa baik, hanya bagiku misa minggu sore adalah yang terbaik. Bangku belakang dekat patung Bunda Maria adalah tempat duduk favorit kami: aku dan Olin sahabatku. Bukan tanpa alasan kami memilih menempati bagian itu dari banyaknya bagian tempat duduk dalam Gereja. Kalian tau kan? Semua hal pasti ada alasannya.
Seperti kebanyakan cewe pada umumnya, sayap kiri gereja adalah pilihan terbaik jika ingin melihat cowo-cowo muda yang tampan dan kinclong, penampilan dengan gaya anak muda zaman now dengan rambut rapi dilumuri minyak rambut dan wangi dari parfum terbaik. Ini adalah spot terbaik jika ingin mencari jodoh. Kurang lebih seperti itulah alasan kami memilih duduk disitu.
Setiap minggu di waktu yang sama aku dan Olin ke gereja dan duduk di tempat yang sama. Tapi sejak minggu lalu, aku memutuskan untuk berubah haluan.
"Ayo buruan, nanti tempat duduk kita ditempati orang," bisik Olin sambil menyeretku pelan ke arah tempat duduk favorit kami. Kondisi gereja yang sudah ramai membuat kami menjadi perhatian banyak orang, dan aku tidak menyukai itu.
Aku menahan lengan Olin sembari berbisik, "Aku mau duduk di belakang koor". Aku mendahului Olin dan berjalan menuju bangku paling belakang di bagian koor yang masih kosong.
"Kamu kenapa sih? Tumben banget duduk disini?" tanya Olin begitu kami duduk berdampingan. Wajahnya keheranan, penuh tanda tanya. Aku memaklumi reaksinya. Jelas saja ia keheranan, karena dia tahu aku paling tidak suka duduk di belakang koor.
Aku tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Olin. Biarkan dia bertanya-tanya dan menerka-nerka.
Pandanganku tertuju pada seorang cowo yang sedang menyetel piano, menyamakan dengan suara si pemazmur. Senyum terkembang begitu saja saat kuingat kembali pertemuan kami minggu lalu.
Saat itu aku membantunya membawa tatakan keyboard karena kulihat ia kesusahan menggotongnya naik tangga. Aku jarang melihat dia, namun dari yang kudengar, ia adalah salah satu organis gereja. Hampir setiap minggu dia menjadi organis, dan hal itu membuatku semakin bersemangat untuk ke gereja.
Dan dia adalah alasanku duduk disini sore ini, dan mungkin untuk seterusnya.
Kurasa aku sudah jatuh Cinta padanya.
Hanya memandang belakang kepalanya saja mampu membuatku berdebar. Mataku terus terpaku padanya, menikmati setiap gerak tangannya di atas tuts piano dan gerak tubuhnya yang bergerak mengikuti irama. Sungguh sebuah pemandangan yang enak dilihat. Aku rasa aku bisa langsung mengenalnya walau hanya melihat dari belakang punggungnya saja.
"Datang ke Gereja itu harus sopan. Kalian mau bertemu Tuhan, bukan main ke Mall. Cobalah untuk memperhatikan pakaian yang kalian kenakan." Indera pendengaranku menangkap khotbah Romo Leo. Aku tidak tahu bagaimana Romo Leo mengawali khotbahnya, karena fokusku bukan pada Romo, tapi pada sang organis.
"Ke gereja karena mau bertemu Tuhan dan merayakan ekaristi. Bukan karena mau bertemu gebetan, teman atau pacar."
Aku tersentak dan spontan menoleh menatap Romo Leo. Arah pandang Romo tertuju padaku. Beliau tersenyum seakan bisa membaca pikiranku. Seketika aku langsung menunduk, merasa malu. Aku tersindir oleh khotbah Romo Leo. Hari ini aku ke Gereja karena ingin melihat dia.
"Tuhan maafkan aku. Motivasiku salah. Tapi Tuhan, tidak bisakah aku bertemu denganMu sekaligus dengannya?" tanyaku dalam hati.
Saat aku mengangkat wajahku, sang Organis sedang menoleh ke arahku. Tatapan kami bertemu, dan sepertinya aku mendengar Tuhan berkata, "Tidak apa anakKu, Aku bersyukur kamu masih datang ke rumahKu."
Aku tersenyum untuk Tuhan dan untuknya, "Terima Kasih Tuhan."
Jakarta, 17 Agustus 2018

Tidak ada komentar:
Posting Komentar